Belum semua wilayah di Indonesia menerapkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yang optimal. Hal itu disayangkan lantaran Indonesia rentan mengalami berbagai kejadian bencana alam, angka kecalakaan lalu lintas yang tinggi , maupun bahaya , terorisme yang mengancam sewaktu-waktu .

“Kejadian bencana yang kerap menimbulkan korban masal , tingginya angka kecelakaan lalu intas yang dapat berujung pada kecacatan atau bahkan kematian serta kejadiaan tak terduga lain yang bisa mengancam setiap saat, seperti

misalnya bahaya terorisme, sangat membutuhkan layanan kegawatdaruratan yang cepat dan tepat secara terpadu baik antara masyarakat , petugas terkait ( polisi, pemadam kebakaran, tim bencana dll) dengan petugas kesehatan baik yang di rumah sakit maupun tim ambulance pra-rs,” sebut Ketua Umum Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO) Brigjen. (Purn) Dr.dr. Supriyantoro SpP, MARS, di Jakarta, kemarin.

Ada sejumlah hal yang menyebabkan penerapan SPGDT belum maksimal. Hal itu antara lain seperti, belum memadainya jumlah tempat tidur di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Imbasnya, kerap terjadi pasien rujukan gawat darurat dirawat ruangan biasa lantaran tempat di IGD penuh.

Masalah lain adalah, keterbatasan alat dan jumlah tenaga medis berkompeten dengan bidang kegawatdaruratan. Misalnya, terbatasnya jumlah perawat di ruang IGD, dan sebagainya. Juga kerap terjadi, lantaran fasilitas gawat darurat untuk bayi (NICU) penuh, bayi yang dalam kondisi gawat terpaksa ditempatkan di ruang gawat darurat biasa.

Selain itu, belum semua RS terkoneksi dengan jaringan hotline gawat darurat 119. Imbasnya pasien menjadi terlambat mendapat pertolongan secepatnya karena ‘dipingpong’ ke sana kemari lantaran antar-RS belum memiliki sistem jaringan komunikasi yang baik.

Belum optimalnya penerapan SPGDT, menurut Supriyantoro, tidak hanya terjadi di RS daerah, bahkan sarana kesehatan serupa di kota-kota besar, seperti Jakarta, juga memiliki kendala serupa.

“Salah satu juga yang juga masih sering dilupakan oleh para petugas RS adalah prosedur merujuk. Banyak kita jumpai keluarga pasien kebingungan pada saat dikatakan oleh petugas UGD/IGD bahwa tempat tidur penuh, dan harus mencari RS sendiri , yang pada beberapa kasus memerlukan waktu berjam-jam. Padahal dalam ketentuan prosedur rujukan , mekanisme merujuk tsb harusnya dilakukan oleh petugas UGD untuk mencarikan RS mana yang mampu menangani kasus tsb dan ada tempat, sekaligus menginformasikan kondisi pasien, sehingga pasien akan dirujuk ke RS yang sudah siap menerima pasien. Sesuai jenis kasusnya” demikian Supriyantoro menambahkan.

Menurut Supriyantoro, ke depan, penerapan SPGDT di pra RS , di dalam RS dan komunikasi, informasi maupun koordinasi antar RS, perlu terus menerus ditingkatkan. Sebetulnya kemenkes RI sebagai regulator sudah membuat peraturan dan pedoman terkait SPGDT , dan beberapa daerah baik di tingkat propinsi, kabupaten,kota sudah menjadikan SPGDT menjadi salah satu prioritas,namun masih diperlukan upaya yang lebih kuat,konsisten serta saling berintegrasi antar wilayah satu dan lainnya, sehingga SPGDT tersebut akan terkoneksi secara nasional dan lintas sektoral.

Dia mencontohkan, berbagai kasus yang korbannya membutuhkan penanganan gawat darurat yang cepat cenderung meningkat. Misalnya, semakin meningkatnya kejadian kecelakaan lalu lintas, orang yang mendapatkan serangan penyakit jantung, stroke di tempat kerja atau lingkungan umum, bahkan hingga kejadian terorisme seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini.

Pembenahan SPGDT baik untuk bencana maupun kejadian sehari-hari, seyogianya tidak saja dilakukan di lingkungan RS semata. Pasalnya, definisi SPGDT sejatinya adalah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang dimulai dari pelayanan pra-RS ( termasuk masyarakat umum yang terlatih ) , pelayanan di RS dan antar-RS. Pelayanan berpedoman pada respons cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat , petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi.

Oleh karena itu, penerapan SPGDT tidak akan terbangun optimal, andai di level masyarakat belum tumbuh kesadaran. Peran masyarakat di sini menjadi penting, lantaran mereka lah pihak pertama yang akan memberikan pertolongan pada korban gawat darurat sebelum di bawa ke RS.

Itulah sebabnya, sosialisasi terkait SPGDT di masyarakat, mulai dari RT/RW, lingkungan kerja dan sebagainya perlu diperkuat. Begitu juga dengan ambulan yang mengantar korban ke RS. Ambulan, menurut Supriyantoro, wajib memiliki jejaring dengan sistem ini.

Berkenaan pentingnya sosialiasi dan pelatihan SPGDT ini, IKKESINDO bersama Indonesia Healthcare Forum (IndoHCF) berkerja sama dengan PKGDI ( Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia) serta PERDICI ( Perhimpunan Dokter Intensif Care Indonesia) akan mengadakan seminar nasional dan workshop terkait pelaksanaan SPGDT di pra-RS dan RS pada 3 Febuari 2016 mendatang di hotel Bidakara yang tidak memungut biaya, karena biaya sepenuhnya dibiayai dari dana CSR (Corporate Social Responsibility) IDSmed.

Lewat kegiatan ini, diharapkan timbul kesadaran yang tinggi di masyarakat berkenaan dengan sistem kegawatdaruratan serta meningkatkan ketrampilan para petugasnya. Selain itu, bersama pemerintah, semua pihak bisa mengembangkan standar nasional kegawatdaruratan , memperluas akses layanan SPGDT dan terciptanya kerja sama yang saling menunjang antarlintas sektor. CSR yang dialokasikan dananya setiap tahun oleh iDSmed ini, sekaligus juga menjadi contoh dan mendorong perusahaan swasta lain agar mengalokasikan dana CSR untuk bersama Pemerintah dan Perhimpunan Profesi terkait membangun guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang semakin sehat dan cerdas.

“Dengan semakin baiknya penerapan SPGDT, niscaya jumlah korban meninggal dan kecacatan akibat kasus gawat darurat bisa jauh ditekan.`ingat semboyan fix the roof when the sun is shining, jadi jangan menunggu kejadian dulu baru kita berbenah diri, marilah kita saling bergandengan tangan untuk memperkuat SPGDT” ujar Supriyantoro, yang sebelumnya menjabat sebagai Sesjen Kemenkes RI tersebut. (…)

  Komentar

Komentar Hanya Untuk Member

Komentar hanya bisa dilakukan oleh member IndoHCF.
Belum memiliki akun? klik disini untuk membuat akun baru.

  Baca Juga

3 Kunci Cegah Serangan Jantung di Usia Muda

Liputan6.com, Jakarta Penyakit jantung merupakan pembunuh nomor wahid di dunia maupun di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat, ad…

Puskesmas Harus Berbenah sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?

Liputan6.com, Jakarta Penyakit jantung merupakan pembunuh nomor wahid di dunia maupun di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat, ad…